Tabuik: Ritual Sakral yang Mengikat Masyarakat Pariaman

Tabuik

Culture Invasion – idesirevintageposters.com – Tabuik: Ritual Sakral yang Mengikat Masyarakat Pariaman. Tabuik adalah salah satu tradisi budaya yang paling unik dan meriah di Indonesia, khususnya di kota Pariaman, Sumatera Barat. Tabuik merupakan upacara tahunan yang diadakan untuk memperingati peristiwa Asyura, yaitu hari kesepuluh dalam bulan Muharram dalam kalender Islam, yang menandai peringatan atas wafatnya Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, dalam Pertempuran Karbala. Tradisi ini berakar dari sejarah Syiah, namun telah bertransformasi menjadi bagian dari kebudayaan lokal yang sarat dengan unsur keagamaan, sejarah, dan budaya Minangkabau.

Di dalam tradisi ini , masyarakat Pariaman menampilkan berbagai prosesi yang sarat makna, diakhiri dengan pelepasan sebuah bangunan besar berbentuk menara (tabuik) ke laut. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut mengenai sejarah, makna, dan pelaksanaan tradisi ini serta bagaimana tradisi ini tetap hidup dan berkembang hingga saat ini.

Sejarah Singkat Tradisi Tabuik

Asal-usul tradisi Tabuik di Pariaman dapat ditelusuri dari penyebaran budaya Syiah yang dibawa oleh para pedagang dan pekerja dari India dan Timur Tengah pada abad ke-19, terutama dari wilayah yang saat ini dikenal sebagai Tamil Nadu di India. Orang Tamil yang bekerja di bawah pemerintahan kolonial Belanda membawa serta tradisi peringatan Asyura, yang pada dasarnya merupakan bagian dari ritual keagamaan Syiah untuk memperingati Tragedi Karbala pada 680 M.

Dalam peristiwa tragis tersebut, Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, tewas bersama para pengikutnya dalam pertempuran melawan pasukan Yazid bin Muawiyah. Husain dianggap sebagai simbol perjuangan melawan ketidakadilan, dan kematiannya diperingati dengan penuh kesedihan oleh komunitas Syiah di seluruh dunia.

Di Sumatera Barat, tradisi Asyura yang dibawa oleh orang Tamil kemudian berbaur dengan budaya lokal Minangkabau yang mayoritas Sunni. Meskipun mayoritas penduduk Pariaman bermazhab Sunni, mereka tetap mengadopsi dan memodifikasi tradisi ini, yang kemudian dikenal dengan nama Tabuik. Meskipun makna religius Syiah masih ada, tradisi ini telah menjadi lebih bersifat budaya dan menjadi bagian dari identitas masyarakat Pariaman.

Makna Simbolis

Kata “tabuik” berasal dari bahasa Arab “tabut”, yang berarti “peti” atau “usungan”. Dalam konteks tradisi Tabuik, kata ini merujuk pada struktur besar yang menyerupai menara atau peti mati, yang dipersiapkan untuk memperingati wafatnya Husain bin Ali. Tabuik diyakini sebagai simbol dari kendaraan yang membawa roh Husain menuju surga, sebuah konsep yang terinspirasi dari kisah-kisah dalam tradisi Syiah.

Lihat Juga  La Tomatina: Tradisi Unik Bermain Perang Tomat dari Spanyol

Secara umum, prosesi tradisi ini melambangkan kesedihan dan penghormatan atas pengorbanan Husain dalam pertempuran Karbala, yang merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Bagi masyarakat Pariaman, tradisi ini juga menjadi sarana untuk mempererat solidaritas, memperkuat nilai-nilai kebersamaan, serta menjaga warisan budaya yang telah ada selama lebih dari satu abad.

Tabuik

Pelaksanaan Tradisi Tabuik

Tradisi ini dimulai sejak awal bulan Muharram dan mencapai puncaknya pada hari kesepuluh, yaitu pada peringatan Asyura. Prosesi Tabuik ini melibatkan beberapa tahap penting yang dilakukan selama sepuluh hari, dengan partisipasi aktif dari berbagai lapisan masyarakat, baik tua maupun muda.

1. Pembuatan Tabuik

Persiapan untuk Tabuik dimulai dengan pembuatan struktur tabuik. Yaitu bangunan besar menyerupai menara atau peti mati yang terbuat dari bambu dan kertas berwarna-warni. Struktur ini dilengkapi dengan berbagai ornamen, seperti bendera, hiasan berbentuk sayap, dan patung kuda yang dipercaya sebagai kendaraan para malaikat. Ada dua tabuik yang dibuat, yaitu Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa, yang berasal dari dua wilayah berbeda di Pariaman.

Selama proses pembuatan, masyarakat berbondong-bondong menyaksikan dan berpartisipasi dalam mempersiapkan tabuik, yang bisa mencapai tinggi hingga 10 meter. Setiap tabuik dibuat dengan penuh semangat oleh para perajin lokal, dan dihias dengan sangat detail.

2. Prosesi Manarak

Setelah tabuik selesai dibuat, prosesi Manarak dilakukan, di mana bagian atas tabuik yang menyerupai peti mati diarak keliling kota. Prosesi ini diiringi oleh alunan gandang tasa. Yaitu musik tradisional dengan alat perkusi seperti gendang yang dimainkan secara ritmis dan energik. Iringan musik yang membangkitkan semangat menambah suasana menjadi meriah dan penuh khidmat.

Masyarakat Pariaman akan berkerumun di sepanjang jalan untuk menyaksikan prosesi arak-arakan ini, sambil memberikan dukungan dan doa kepada para peserta. Prosesi ini dianggap sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Husain bin Ali dan simbol kebersamaan masyarakat.

3. Prosesi Tabuik Dibuang ke Laut

Puncak dari perayaan Tabuik adalah prosesi di mana kedua tabuik. Setelah diarak keliling kota, dibawa ke pantai dan kemudian dibuang ke laut. Pelepasan tabuik ke laut dianggap sebagai simbol pelepasan roh Husain menuju surga, dan juga simbolisasi dari pelepasan kesedihan dan duka masyarakat.

Prosesi ini sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat lokal dan wisatawan, karena menjadi momen puncak yang penuh semangat. Setelah tabuik dibuang ke laut, orang-orang akan bersorak dan merayakan. Menandakan akhir dari peringatan Asyura dan membuka lembaran baru bagi masyarakat.

Lihat Juga  Penguins Christmas Party Time: Pesta Natal di Dunia Penguin!

Keunikan Tradisi Tabuik di Pariaman

Tradisi Tabuik di Pariaman memiliki sejumlah keunikan yang membedakannya dari perayaan Asyura di negara-negara lain yang mayoritas bermazhab Syiah. Salah satu keunikan tersebut adalah perpaduan antara unsur Syiah dengan budaya Minangkabau yang mayoritas Sunni. Tradisi ini juga mengalami proses adaptasi dan asimilasi selama bertahun-tahun, sehingga lebih banyak dipandang sebagai perayaan budaya daripada ritual keagamaan semata.

Selain itu, tradisi ini juga telah menjadi daya tarik wisata yang mendatangkan ribuan wisatawan domestik maupun mancanegara setiap tahunnya. Pemerintah setempat bahkan menjadikan tradisi ini sebagai salah satu ikon budaya Pariaman. Dengan mengadakan festival tahunan yang melibatkan berbagai atraksi budaya, pameran, dan kegiatan ekonomi kreatif.

Relevansi dan Kelestarian

Meskipun tradisi ini telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Tradisi ini terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Pariaman hingga hari ini. Hal ini menjadi bukti bahwa meskipun banyak tradisi lain yang telah hilang seiring perkembangan zaman. Tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya lokal. Pemerintah daerah dan komunitas setempat juga terus mendukung kelangsungan tradisi ini dengan memberikan dukungan finansial dan logistik. Serta mempromosikan perayaan ini sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional.

Selain itu, tradisi ini tetap relevan dalam memperkuat rasa kebersamaan dan gotong royong di masyarakat. Dalam proses pembuatan tabuik dan prosesi lainnya, masyarakat berkumpul, bekerja sama, dan berbagi tanggung jawab, sehingga memperkuat ikatan sosial yang ada di antara mereka.

Kesimpulan

Tradisi ini merupakan salah satu tradisi budaya yang kaya akan nilai sejarah, religius, dan budaya di Pariaman, Sumatera Barat. Meskipun berasal dari tradisi Syiah, perayaan ini telah berkembang menjadi bagian penting dari identitas lokal yang merefleksikan solidaritas, semangat kebersamaan, dan penghormatan terhadap sejarah. Dengan prosesi yang meriah, dari pembuatan hingga pembuangan tabuik ke laut. Tradisi ini memberikan pengalaman unik bagi masyarakat dan pengunjung yang ingin menyaksikan percampuran antara warisan budaya lokal dan internasional.

Dalam dunia modern, tradisi ini tetap lestari sebagai wujud kekayaan budaya dan semangat kebersamaan. Memastikan bahwa Tradisi ini akan terus menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Pariaman dan daya tarik wisata budaya yang penting di Indonesia.